Analisa: Indonesia dapat mengubah jalan untuk mengurangi emisi pada 2030 hanya dengan melakukan aksi di tiga bidang utama

Press release

Ini adalah siaran pers dalam Bahasa Indonesia. Untuk versi bahasa Inggris, klik di sini. This is the press release in Bahasa Indonesia. For the english version, click here.

Menurut analisa baru yang disampaikan oleh Climate Action Tracker (CAT), Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam meningkatkan aksi untuk iklim dengan melakukan penghilangan karbon (dekarbonisasi) dalam perekonomiannya, yaitu dengan melakukan sesuatu di tiga bidang utama. Hal ini akan menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan pada 2030 dibandingkan dengan pertumbuhan yang terus berlanjut seperti diproyeksikan dalam target Indonesia untuk pencapaian Kesepakatan Paris.

Analisa yang berjudul “Peningkatan Aksi untuk Iklim: Indonesia” dirilis hari ini sebagai bagian dari rangkaianClimate Action Tracker yang melihat potensi-potensi yang dimiliki berbagai negara untuk melakukan dekarbonisasi dalam kegiatan perekonomiannya sehingga sejalan dengan pembatasan suhu 1,5 derajat Celsius sesuai Kesepakatan Paris.

Secara bersama-sama, sektor pasokan listrik, transportasi penumpang dan kehutanan di Indonesia menutupi sekitar 70% dari emisi gas rumah kaca yang dikeluarkannya. Analisa CAT menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengurangi emisi sebesar 20% di bawah angka 2010 pada 2030. Hal ini justru berkebalikan dengan kenaikan emisi 58-68% seperti yang diproyeksikan oleh target-target NDC Kesepakatan Paris.

“Perubahan iklim akan menyebabkan dampak-dampak yang merugikan bagi Indonesia. Tanpa langkah-langkah mitigasi dan adaptasi domestik, maka kebakaran hutan dan gambut akan lebih sering terjadi, yang tak hanya akan menyebabkan pelepasan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang luar biasa besar tetapi juga akan membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat,” kata Thibaud Lemercier dari Ecofys, sebuah perusahaan konsultan.

“Temuan kami meyakini bahwa penguatan upaya untuk melakukan dekarbonisasi di sektor pasokan listrik, transportasi penumpang dan kehutanan akan mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan sambil tetap memberikan manfaat tambahan seperti misalnya terciptanya lapangan kerja, pengurangan polusi udara, pengurangan kebakaran gambut, pelestarian keragaman hayati, pengurangan kemacetan lalu lintas di pusat-pusat kota, mempromosikan kemandirian sumber daya serta meningkatkan elektrifikasi di daerah-daerah terpencil.”

Agar selaras dengan Kesepakatan Paris, Indonesia harus mencapai dekarbonisasi sepenuhnya di sektor tenaga listrik pada 2050. Artinya, akan ada pembangkitan energi terbarukan sekitar 50% pada 2030 dan tidak akan ada lagi pembangkit listrik tenaga batubara yang baru karena batubara harus sudah ditinggalkan pada 2040. Aksi semacam ini akan memberikan manfaat sosial yang besar, termasuk pekerjaan baru, pengurangan polusi udara, dan menghindarkan pembangkit-pembangkit listrik bertenaga batubara agar tidak mangkrak dalam jumlah yang banyak sekali. Sebaliknya, dalam rencana penyediaan tenaga listrik yang ada saat ini, pembangkit listrik baru bertenaga batubara berkapasitas 27 GW segera akan terpasang dalam satu dasawarsa mendatang.

“Regulasi-regulasi yang ada yang didukung oleh kepentingan-kepentingan bahan bakar fosil terlalu lemah untuk merangsang pemanfaatan potensi luar biasa energi terbarukan yang ada di Indonesia. Meningkatkan kepercayaan investor melalui revisi regulasi-regulasi tentang dukungan terhadap energi terbarukan akan menjadi langkah pertama yang bagus. Indonesia memiliki berkah luar biasa dengan sumber-sumber energi terbarukan yang beragam dan berlimpah,” kata Ursula Fuentes dari Climate Analytics. “Perubahan untuk meninggalkan batubara dalam pembangkitan listrik harus direncanakan sekarang untuk memastikan transisi yang berkeadilan.”

Analisa ini menemukan bahwa angka emisi dari pemanfaatan lahan dan deforestasi di Indonesia cukup signifikan secara global dan menawarkan potensi besar untuk pengurangan emisi. Indonesia dapat mengubah sektor kehutanannya menjadi penyerap karbon pada 2030 jika Indonesia melakukan tiga hal, yaitu: menghentikan kebakaran gambut sepenuhnya pada 2020, telah mengurangi secara drastis atau bahkan meninggalkan emisi dari degradasi gambut melalui restorasi pada 2030, dan membatasi deforestasi/meningkatkan reforestasi.

“Kita sudah melihat capaian luar biasa dalam sektor kehutanan melalui aksi yang diambil untuk mengatasi pengrusakan lahan gambut, terutama dengan momentum politis yang tercipta setelah kejadian kebakaran hutan pada 2015,” kata Niklas Höhne dari NewClimate. “Namun pemerintah-pemerintah sub-nasional membutuhkan dukungan lebih banyak untuk mengelola perbedaan kepentingan. Keberhasilan mereka akan memberikan manfaat-manfaat tambahan yang penting agar terhindar dari dampak kesehatan, degradasi lingkungan dan kerugian ekonomi.”

Di sektor transportasi, standar keekonomian bahan bakar, pengembangan transportasi publik dan pengenalan mobilitas listrik adalah langkah-langkah penting untuk mulai menurunkan emisi yang ditimbulkan dari transportasi penumpang dalam jangka pendek. Meskipun Indonesia memiliki kebijakan pencampuran biodiesel yang sangat ambisius, tanpa langkah-langkah tambahan terkait dengan tata kelola dan sertifikasi berkelanjutan, maka produksi biodiesel dari kelapa sawit akan terus menyebabkan deforestasi karena ekspansi perkebunannya di hutan primer di Indonesia. Menurut analisa yang dilakukan CAT, elektrifikasi armada kendaraan penumpang disertai dengan dekarbonisasi listrik akan mampu menghilangkan karbon pada transportasi penumpang sehingga akan selaras dengan persyaratan dalam Kesepakatan Paris, sambil tetap memberikan manfaat-manfaat nyata bagi ekonomi dan lingkungan.

Stay informed

Subscribe to our newsletter